Semangat Bandung: Dari Persatuan ke Trumpisme dan Kembali Menemukan Arah
Pada bulan April 1955, Kota Bandung menjadi saksi peristiwa bersejarah yang mengguncang dunia. Negara-negara yang dulunya hanya menjadi objek kolonial berkumpul di sana dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA), untuk pertama kalinya berbicara tentang perdamaian, solidaritas, dan kedaulatan. Presiden Soekarno membuka konferensi ini dengan seruan penuh semangat, menyatakan bahwa kehidupan yang lebih baik hanya dapat tercipta dengan berani menentang kolonialisme dalam segala bentuknya. Peristiwa ini menyatukan 29 negara dari Asia dan Afrika, yang mewakili lebih dari setengah populasi dunia, dan mendeklarasikan semangat baru untuk melawan ketidakadilan global.
Melalui konferensi ini, para pemimpin menandatangani Dasasila Bandung, yang terdiri dari 10 prinsip moral yang mengutamakan penghormatan terhadap kedaulatan negara, hidup berdampingan secara damai, serta menentang campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain. Semangat ini kemudian mengarah pada lahirnya Gerakan Non-Blok, yang membawa suara negara-negara berkembang ke panggung dunia.
Namun, hampir tujuh dekade setelahnya, dunia kembali menghadapi tantangan besar. Kebijakan luar negeri Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dengan filosofi “America First,” menciptakan ketegangan internasional yang mengarah pada proteksionisme. Trumpisme, yang lebih mementingkan kepentingan nasional daripada kerja sama global, menjadi kebalikan dari Semangat Bandung yang mengedepankan solidaritas. Trump menarik AS dari berbagai organisasi internasional dan menangguhkan perjanjian iklim, membuat dunia semakin terpolarisasi.
Meski demikian, warisan KAA tetap hidup. Kota Bandung dan Gedung Merdeka, tempat lahirnya Semangat Bandung, tetap menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan global. Semangat ini kini lebih relevan daripada sebelumnya, menjadi pengingat bahwa dunia pernah bersama-sama menginginkan dunia yang lebih adil, tanpa didikte oleh kekuatan besar, tetapi dibimbing oleh empati dan solidaritas. Dalam menghadapi tantangan geopolitik kontemporer, nilai-nilai tersebut tetap dapat menjadi pemandu untuk menghadapinya dengan bijak dan penuh harapan.